gambar tapak masjid dhirar berdekatan masjid Quba di Madinah
al-ikhwan.netOleh: Aba AbdiLLAAH
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ . لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ . أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ . لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَنْ تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka Apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahanam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zhalim. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu Senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah:107-110)
SABAB NUZUL :
Imam Ibnu Katsir menceritakan panjang lebar dalam kitabnya[1] bahwa di Madinah sebelum datangnya Nabi SAW ada seorang tokoh Khazraj bernama Abu Amir “Ar-Rahib”[2], dia ini telah memeluk Nasrani di masa Jahiliyah dan mempelajari ilmu Ahli Kitab, demikianlah setelah datangnya Nabi SAW ia merasa iri karena tidak lagi dihormati, maka akhirnya setelah ia dan kelompoknya dikalahkan pada perang Uhud, maka atas saran Heraclius Kaisar Romawi maka disepakatilah untuk membangun tempat untuk memata-matai jamaah kaum muslimin, dan supaya tidak mencurigakan bagi move-move mereka tersebut maka dibangun lah sebuah masjid untuk
tauriyyah (cover) bagi kegiatan mereka dan mereka beralasan ini hanyalah untuk kaum ‘lemah’ di antara kaum beriman[3].
TAFSIR AYAT :
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Berkata Imam Abu Ja’far[4] bahwa makna ‘dhiraran’ (keburukan) artinya keburukan terhadap jamaah kaum mukminin, cenderung kepada kekufuran karena memusuhi Nabi SAW, serta memecah-belah shaf jamaah kaum beriman agar mereka ini shalat di masjid mereka dan juga di masjid Nabi SAW, sehingga shaf kaum muslimin menjadi berselisih lalu berpecah-belah, maka itu menguntungkan pimpinan mereka yaitu Abu Amir Al-Kafir[5] yang memusuhi Nabi SAW dan ingin menghancurkannya, lalu setelah itu mereka masih berani bersumpah : Bahwa tujuan kami melakukan ini hanyalah untuk kebaikan semata..! Tetapi ALLAAH menjadi saksi bahwa mereka hanya berdusta belaka.
Berkata Imam Ibnu Katsir menambahkan[6] : Para tokoh yang menjadi pelopor pembuatan masjid ini ada 12 orang, yaitu Khidzam Ibnu Khalid, Tsa’labah Ibnu Hathib, Mu’attib Ibnu Qusyair, Abu Habibah Ibnu ‘Adz’ar, ‘Abbad Ibnu Hunaif (ia adalah masih saudara kandung dari Sahl Ibnu Hunaif sahabat Nabi SAW), Jariyyah Ibnu ‘Amir dan anaknya Mujammi’ dan Zaid Ibnu Jariyyah, Nabtal Ibnu Harits, Bahzaj dan Bajjad Ibnu ‘Utsman, dan Wadi’ah Ibnu Tsabit.
Berkata Sayyid Quthb[7] -ja’alahuLLAAHu syahidan- : Bahwa setiap masjid dhirar selalu berusaha dibangun disamping atau untuk menyaingi masjid taqwa, yang pada akhirnya nanti akan diketahui semua makar dan tipu-daya dibalik niat busuk mereka, sehingga kembali tenang hati orang-orang ‘amilin yang bersih. Syeikh Sa’id Hawwa menambahkan[8] : Bahwa masuknya huruf (إن) dan (ل) sebagai menambah ta’kid (penguat) tentang bahwa sumpah mereka -bahwa niat mereka membangun (ataupun memakmurkan) masjid tersebut- untuk niat kebaikan dan ishlah hanyalah dusta mereka belaka.
Imam Al-Qurthubi berkata[9] : Pertama, berkata para ulama kita bahwa semua masjid yang dibangun untuk tujuan yang buruk, atau untuk riya’[10] atau untuk sum’ah[11] maka hukumnya sama seperti hukum terhadap masjid dhirar, tidak diperkenankan shalat di dalamnya. Kedua, juga makruh shalat di belakang Imam/pemimpin yang zhalim kecuali karena ada uzur syar’i, hal ini dikarenakan Umar RA melarang orang shalat di belakang Al-Mujammi’ Ibnu Jariyyah karena ia pernah menjadi Imam di masjid dhirar. Ketiga, berkata para ulama rahimahumuLLAH, bahwa jika masjid -yang merupakan tempat yang paling mulia untuk ibadah kepada ALLAH- saja apabila dibuat untuk tujuan perpecahan maka harus dirobohkan, maka apalagi yang selain masjid seperti bangunan lain (berarti juga termasuk di sini forum-forum, media-media, kelompok-kelompok, dan sebagainya –pen), kesimpulannya adalah barangsiapa yang membuat keburukan kepada sesama ikhwah maka itu semua adalah terlarang. SEKIAN KUTIPAN DARI AL-QURTHUBI.
__________________________________________________________________
[1] Tafsir Ibnu Katsir, At-Taubah-107, juz IV/210-212
[2] Sesuai gelarnya, ia adalah seorang yang taat beribadah menurut agama Nasrani
[3] Secara rinci sabab-nuzul ayat ini tafadhal dibaca di : Asbab Nuzulil Qur’an, Imam Al-Wahidi, I/94; Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, Imam As-Suyuthi, I/111; Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an, Imam ‘Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, II/368
[4] Tafsir At-Thabari, XIV/469
[5] Sirah Ibnu Hisyam, IV/173-174
[6] Tafsir Ibnu Katsir, IV/212
[7] Azh-Zhilal, IV/79
[8] Shafwatut Tafasir, I/408
[9] Tafsir Al-Qurthubi, I/2536
[10] Asal katanya ra’a-yara’u, artinya melihat, riya’ artinya amalnya ingin dilihat orang lain (Ash Shihhah fil Lughah, I/234; Tahdzib Al-Lughah, V/169; Lisanul ‘Arab, XIV/291)
[11] Asal katanya sami’a-yasma’u, artinya mendengar, sum’ah artinya amalnya ingin didengar orang lain (Al-Qamus Al-Muhith, II/287; Tahdzib Al-Lughah, I/193; Lisanul ‘Arab, VIII/162)
No comments:
Post a Comment